Radar Bharindo, Yangon - Sabtu (25/3), Myanmar menolak
keputusan dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki tuduhan
bahwa aparat keamanan telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan
terhadap muslim Rohingya, Myanmar menyatakan penyelidikan hanya akan
"mengobarkan" konflik.
Badan PBB yang berbasis di Jenewa pada Jumat sepakat untuk
"segera" meluncurkan sebuah misi pencari fakta ke negara Asia
Tenggara tersebut, berfokus pada klaim bahwa polisi dan tentara telah melakukan
tindakan kerasan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.
Operasi militer Myanmar yang diluncurkan pada Oktober,
setelah militan menewaskan sembilan polisi, telah mengakibatkan puluhan ribu warga
etnis Rohingya mengungsi dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Para penyelidik PBB mendengar kisah-kisah mengerikan dari
para pengungsi, mulai dari petugas keamanan yang menikam para bayi hingga
tewas, membakar orang hidup-hidup dan melakukan pemerkosaan bergerombol.
Laporan-laporan itu memberikan tekanan besar pada
pemerintahan sipil yang baru berusia satu tahun
pimpinan Aung San Suu Kyi, peraih Nobel yang mendapat penghargaan global
karena dinilai telah puluhan tahun memperjuangkan demokrasi di bekas junta
militer itu.
Pemerintahannya tidak terlalu memiliki kontrol pada angkatan
bersenjata, tetapi dengan tegas menolak seruan untuk penyelidikan internasional
terkait pertumpahan darah baru-baru ini di Rakhine, mengecewakan
lembaga-lembaga hak asasi manusia.
Pada Sabtu Kementerian Luar Negeri Myanmar mencabut semacam
komitmen untuk menghalangi penyelidikan PBB, menyatakan "sudah memisahkan
diri dari resolusi itu secara keseluruhan."
"Pembentukan misi pencari fakta internasional akan lebih
mengobarkan konflik, ketimbang menyelesaikan masalahnya pada saat ini,"
tambah kementerian.
Pemerintah Myanmar melaksanakan penyelidikan domestik
mengenai kemungkinan kejahatan di Rakhine.
Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia dan PBB menyebut
lembaga yang dipimpin oleh bekas jenderal yang menjadi Wakil Presiden, Myint
Swe, tidak bergigi dan tidak memadai.
Penumpasan yang baru-baru ini terjadi hanyalah bagian dari
konflik terkini dalam tumpukan penderitaan warga Rohingya yang tidak bernegara,
yang kewarganegaraannya ditolak dan menghadapi diskriminasi brutal di negara
dengan mayoritas penduduk Buddha itu.
Lebih dari 120.000 warga Rohingya hidup di kamp-kamp
pengungsian suram sejak serangan kekerasan mencabik negara bagian Rakhine tahun
2012.
Kebanyakan tidak diizinkan meninggalkan perkemahan kotor
tempat mereka tinggal dalam tempat-tempat penampungan bobrok dengan akses minim
ke pangan, pendidikan dan layanan kesehatan, demikian menurut warta kantor
berita AFP. (Red)
Sumber:
ANTARA News
0 Komentar