![]() |
Khadija, wanita Tunisia yang berhasil melarikan diri dari
Raqqa, wilayah ISIS di Suriah. Foto/Russia Today
|
Radar Bharindo, Ankara ~ Seorang wanita yang berhasil melepaskan diri
dari cengkeraman kelompok Islamic State atau ISIS bercerita pengalaman buruknya
selama tinggal di wilayah yang selama ini dikenal sebagai “kekhalifahan” ISIS.
Dia melarikan diri setelah kecewa karena ISIS tak sesuai dengan ajaran Islam.
Wanita ini memperkenalkan diri dengan nama pendek Khadijah.
Dia dari Kota Tunis, Tunisia, ke Suriah.
Khadijah yang sudah tiga tahun tinggal di Raqqa—yang diklaim
ISIS sebagai ibu kotanya—mengatakan kepada Russia Today bahwa dia melihat
banyak kekejaman dan ketidakadilan. Menurutnya, tidak ada upaya nyata di
kelompok ISIS untuk menjalankan hukum Syariah Islam.
”Suami saya dan saya membuat kesalahan besar dengan datang ke
sana. Dan saya menyarankan agar Anda tidak mempercayai orang-orang yang
mengatakan bahwa ISIS adalah negara Islam, yang mengajarkan Islam dan Syariah
serta hidup sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad dan Alquran,” kata Khadijah.
Selama tinggal di Raqqa, dia mencatat bahwa para militan ISIS
tidak mentolerir perbedaan pendapat dan pertentangan dengan pemerintahan
mereka.
”Semua orang yang menentang mereka, dipenggal kepalanya. Dan
orang-orang tidak tahu kapan ini akan terjadi,” ujarnya.
”Mereka tidak berada di jalan yang benar. Inilah keadaan
tirani dan setan. Suami saya meninggalkan mereka (ISIS), dan menyuruh saya
untuk melakukan hal yang sama,” lanjut Khadijah. Dia dan suaminya melarikan diri
dari Raqqa berjalan ke arah selatan ke Kota al-Mayadeen dan kemudian ke Turki.
Tapi, sebelum dia berhasil melarikan diri, wanita muda ini
telah menyaksikan sisi tergelap ISIS, di mana kehidupan orang-orang di kelompok
itu, khususnya wanita dan anak-anak sangat rentan.
”Ada banyak kejahatan di tempat tinggal perempuan. Anak-anak
menderita kudis, kutu. Saat anak sakit, mereka tidak mendapat perawatan di
rumah sakit,” kata Khadijah.
Jika wanita ditemukan melanggar kode etik yang ketat, yang
dipaksakan oleh ISIS, mereka dikurung di penjara seperti fasilitas penahanan
oleh pengawas wanita, yang bertanggung jawab atas ”asrama wanita”.
”Sangat memuakkan untuk berada di sana,” ucap Khadijah yang
menceritakan kisah-kisah wanita dalam persalinan yang mencari pertolongan tapi
tidak ada yang peduli. Wanita di sana dipaksa melahirkan bayi di tempat.
Bahkan, kata Khadijah, ada seorang wanita yang berdarah
sampai meninggal saat persalinan setelah superintendent (pengawas) menolak
untuk membantunya.
”Wanita malang itu pergi ke kebun, sambil mengalami
pendarahan hebat, tinggal di sana sampai pagi dalam cuaca hujan dan dingin.
Tidak ada yang memperhatikannya. Dan pada pagi hari suaminya datang, melihat
tubuhnya terbaring di kebun dan lewat, tanpa memperhatikan, karena tidak ada
yang terjadi, seolah-olah (korban) adalah seekor anjing,” tutur Khadijah.
Dalam kasus lain, ada seorang wanita yang menjadi lumpuh
setelah permohonannya untuk dikirim ke rumah sakit ditolak meski dia mengatakan
bahwa kakinya membusuk.
Khadijah juga membenarkan ulah para militan ISIS yang
menjadikan wanita yang bukan istrinya sebagai budak seks. Menurutnya, wanita
yang bukan budak seks tidak mengalami apa yang disebut sebagai ”jihad seks”.
”Anda pergi ke balai kota dan menikah. Jika Anda sudah menikah
dan suami terbunuh, Anda akan menikah
dengan pria lain,” katanya. Cerita yang sama sekali berbeda adalah,
bagaimanapun, ketika seorang wanita yang ditangkap atau tawanan dan berubah
menjadi budak seks.
Sebagai budak seks, seorang wanita dianggap sebagai milik
pemiliknya, untuk melakukan apa yang dia suka, seperti, dijual atau diberikan
sebagai hadiah.
”Istri dan wanita lainnya tinggal terpisah. Dia (militan
ISIS) tinggal bersama mereka secara bergiliran, suatu hari dengan satu wanita,
dan beberapa hari dengan yang lain,” ujar Khadijah, yang mencatat bahwa
meskipun istri mereka terhormat, tapi terkadang iri pada wanita budak Yazidi.
”Banyak pria mencintai gadis Yazidi lebih dari istri mereka,”
katanya.
Nur Al-Khouda, 20, wanita yang berasal dari Tripoli, Libanon,
mengatakan bahwa suaminya pertama kali bergabung dengan kelompok Salafi dimana
dia diindoktrinasi dengan ideologi ISIS dan berangkat ke Suriah.
”Dia meyakinkan saya bahwa tidak ada yang buruk di sana dan
saya mempercayainya sebagai istri, jadi saya mengatur semua dokumen dan saya
bergabung dengannya di Suriah,” kata wanita muda ini kepada Russia Today, yang
dilansir Sabtu (15/7/2017) malam.
Perdagangan budak, kata dia, adalah pasar yang sedang booming
di ISIS.
”Mereka menaruh banyak perhatian pada penampilan wanita.
Mereka membeli make up untuk menjualnya seharga USD15.000, perawan diberi harga
USD30.000,” ujar Al-Khouda. (Red)
Sumber : Sindo
0 Komentar