![]() |
Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) |
Radar Bharindo,Jakarta ~ Undang-Undang (UU) tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang baru saja disahkan DPR terus
menuai protes. Terutama, mengenai ketentuan syarat ambang batas pencalonan
presiden (presidential threshold) 20%-25% dalam UU tersebut.
Kali ini, protes datang dari Ketua Umum Partai Bulan Bintang
(PBB) Yusril Ihza Mahendra. Dia bakal menggugat UU Pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
"Secepat mungkin setelah RUU ini ditandatangani oleh
Presiden dan dimuat dalam lembaran negara, saya akan mengajukan permohonan
pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam
keterangan tertulisnya, Jumat (21/7/2017) dini hari.
Yusril mengatakan, perjuangan secara politik oleh
partai-partai yang menolak keberadaan presidential threshold, usai sudah.
"Kini menjadi tugas saya untuk menyusun argumen
konstitusional untuk menunjukkan bahwa keberadaan presidential threshold dalam
pemilu serentak adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) jo Pasal 22E Ayat
(3) UUD 45," katanya.
Kata Yusril, Pasal 6A Ayat (2) itu mengatakan bahwa pasangan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
"Pemilihan umum yang mana yang pesertanya partai
politik? Jawabannya ada pada Pasal 22E Ayat 3 UUD 45 yang mengatakan bahwa
Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD," ujarnya.
Jadi lanjut Yusril, pengusulan capres dan cawapres oleh
parpol peserta pemilu itu harus dilakukan sebelum Pemilu DPR dan DPRD. Baik
Pemilu dilaksanakan serentak maupun tidak serentak, ujar dia, presidential
threshold semestinya tidak ada.
"Apalagi pemilu serentak, yang perolehan kursi anggota
DPRnya belum diketahui bagi masing-masing partai," papar pakar hukum tata
negara ini.
Dengan memahami dua Pasal UUD 45 seperti itu, kata Yusril,
maka tidak mungkin presidential threshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
penegakan konstitusi di negeri ini akan tetap jernih dalam memeriksa permohonan
pengujian UU Pemilu ini," ujar mantan menteri sekretaris negara ini.
Dia menuturkan, kepentingan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan
parpol-parpol pendukungnya sangat besar untuk mempertahankan apa yang telah
mereka putuskan. "Namun saya berharap MK tetap tidak dapat diintervensi
oleh siapapun," katanya.
Dia mengaku tidak masalah sendirian berjuang menghadapi
Presiden dan DPR di MK nanti, andaikan tidak ada yang akan melawan UU Pemilu
baru itu. "Kebenaran toh tidak tergantung pada banyak sedikitnya orang
atau kuat dan lemahnya posisi dalam politik," pungkasnya.
Diketahui, pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu
berakhir pada Jumat (21/7/2017) dini hari. Opsi A terkait lima isu krusial RUU
Pemilu disahkan secara aklamasi dalam paripurna tersebut.
Adapun paket A adalah ambang batas presiden 20-25 persen,
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen, sistem Pemilu
terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan : 3-10 dan metode konversi suara
sainte lague murni.
Hal demikian diputuskan Ketua DPR Setya Novanto yang hanya
didampingi Wakilnya, Fahri Hamzah. Sebab, tiga wakil ketua DPR lainnya, Fadli
Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN) melakukan
aksi walk out bersama seluruh rekan sefraksi mereka.
Empat fraksi di DPR itu, Partai Gerindra, Partai Demokrat,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) melakukan aksi
walk out karena tidak ingin mengikuti voting terhadap opsi paket lima isu
krusial RUU Pemilu. Mereka ingin ambang batas pencalonan presiden 0 persen
alias dihapuskan dalam RUU Pemilu. (Sin,Red)
Sumber : Sindo
0 Komentar